Pelatihan Model Kepemimpinan Dalam Meningkatkan Kreatifitas Mahasiswa Se-Provinsi Kepulauan Riau

Dr. H. Chamdan Purnama, S.E., M.M.

Kategori : Abdimas

Memberi Pelatihan Kepemimpinan untuk mahasiswa se-Provinsi Kepulaun Riau 21-23 Oktober 2012

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1.   Pendahuluan

 Kinerja menjadi hal yang penting dalam organisasi. Menurut Prabu Mangkunegara (2000) kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Mangkuprawira (2007) juga menjelaskan bahwa kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.

Williams (2004) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kinerja kreatif merupakan batasan dimana ide anggota organisasi tersampaikan, metode kerja digunakan, dan semua output yang dihasilkan baru dan berguna. Salah satu indikator dari kinerja kreatif adalah pemikiran divergen. Pemikiran divergen menjadi hal penting dan mendasar dalam kreativitas, karena istilah “pemikiran divergen” dan “kreativitas” sering digunakan sebagai sinonim di dalam bukubuku psikologi (misalnya, McCrae, 1987; Paulus, 2000).

Namun, definisi kreativitas yang biasanya digunakan dalam buku-buku manajemen memerlukan kedua divergensi, yaitu kebaruan dan orisinalitas, yang lebih mengarah pada suatu inovasi dan kegunaan dalam konteks yang ada (Amabile, 1983). Pemikiran divergen adalah proses yang menghasilkan banyak ide yang inovatif dan sekaligus menjadi aspek penting dari kreativitas anggota dalam organisasi (Williams, 2004). Woodman (dikutip oleh Williams, 2004) mencatat, pemikiran divergen telah lama menjadi kunci kognitif terhadap kreativitas dan menjadi pertimbangan utama dalam penelitian kreativitas.

Pemikiran divergen adalah proses yang menghasilkan banyak ide yang inovatif. Pemikiran divergen menjadi aspek penting dari kreativitas karyawan dalam organisasi. Pemecahan masalah secara efektif dan kreatif membutuhkan ide dari solusi potensial yg beragam dan berbeda (Ford, 1996) dan pemikiran divergen membantu karyawan mengidentifikasi masalah-masalah menarik dan cara-cara kreatif untuk menerapkan solusinya (Basadur, 1994)

Ford (1996) menjelaskan bahwa mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran divergen tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam memahami kreativitas organisasi. Pemecahan masalah secara efektif dan kreatif membutuhkan ide dari solusi potensial yg beragam dan berbeda. Selain itu, pemikiran divergen juga membantu karyawan mengidentifikasi masalah-masalah menarik dan cara-cara kreatif untuk menerapkan solusinya (Basadur, 1994, dalam Williams, 2004).

Wikipedia Indonesia menyebutkan bahwa kreativitas adalah proses mental yang melibatkan pemunculan gagasan atau konsep baru, atau hubungan baru antara gagasan dan konsep yang sudah ada. Masih dari Wikipedia Indonesia, dilihat dari sudut pandang keilmuan, hasil dari pemikiran kreatif (kadang disebut pemikiran divergen) biasanya dianggap memiliki keaslian dan kepantasan. Sebagai alternatif, konsepsi sehari-hari dari kreativitas adalah tindakan membuat sesuatu yang baru. Jadi, pemikiran divergen dan kinerja kreatif memang saling

terkait. 

Untuk mencapai kinerja kreatif, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah kepribadian. Menurut Mahmud (1990) kepribadian itu mempunyai arti yang lebih dari pada hanya sekedar sifat menarik yang tersusun dari semua sifat yang dimilikinya. Sifat tersebut bermacam-macam. Seperti yang berkenaan dengan cara orang berbuat, menggambarkan sikap, berhubungan dengan minat, dan temperamen emosionil.

Namun, mahasiswa seringkali mengabaikan ide inovatif. Ini adalah beberapa hambatan munculnya sikap kreatif dan inovatif. Karena itu, Naqiyah (2005) mengatakan bahwa dalam upaya mengembangkan sikap kreatif perlu

mengenali beberapa aral kreativitas. Ada berbagai jenis aral kreativitas (creativity blocks), yaitu hambatan bersifat internal dan eksternal. Hambatan yang bersifat internal, seperti: aral pola pikir, paradigma, keyakinan, ketakutan, motivasional dan kebiasaan. Sedangkan hambatan yang bersifat eksternal, seperti: hambatan sosial, organisasi dan kepemimpinan.

Sejumlah penelitian menunjukkan pemimpin dapat mempengaruhi kinerja kreatif bawahan mereka. Beberapa penelitian menunjukkan kepemimpinan suportif dan partisipatif yang kondusif untuk kreativitas (Oldham dan Cummings, 1996). Pemimpin yang kritis mengevaluasi bawahannya kreativitas dapat mengurangi kreativitas (Zhou, 1998), dan pemimpin yang meningkatkan bawahan mereka percaya diri dapat meningkatkan kinerja kreatif (Redmond et al, 1993.).

Kepemimpinan juga perlu menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan dalam kinerja kreatif. Oldham dan Cummings (1996) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kepemimpinan yang selalu  terbuka mendukung dan ikut serta bekerjasama dapat meningkatkan kreativitas karyawan. Redmond (1993, dalam Williams, 2004) berpendapat bahwa pemimpin yang meningkatkan kepercayaan diri karyawan juga dapat meningkatkan kinerja kreatif. 

Robbins (2006) menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah suatu tujuan. Kepemimpinan adalah pengaruh antara pribadi yang dijalankan dalam situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tersebut. Menurut Nitisemito (1996) pemimpinlah yang akan menentukan kemana arah dan tujuan internal maupun eksternal dan menyelaraskan visi dan misi organisasi.

2. Tinjauan Pustaka

2.1. Kreativ

Kinerja menjadi hal yang penting dalam organisasi. Menurut Prabu Mangkunegara (2000) kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Mangkuprawira (2007) juga menjelaskan bahwa kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama.

Jika dilihat dari asal katanya, kata kinerja adalah terjemahan dari kata performance, yang menurut The Scribner-Bantam English Distionary, terbitan Amerika Serikat dan Canada (1979), berasal dari akar kata “to perform” dengan beberapa “entries” yaitu: (1) melakukan, menjalankan, melaksanakan (to do or carry out, execute); (2) memenuhi atau melaksanakan kewajiban suatu niat atau nazar (to discharge of fulfill; as vow); (3) melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab (to execute or complete an understaking); dan (4) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin (to do what is expected of a person machine).

Williams (2004) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kinerja kreatif merupakan batasan dimana ide anggota organisasi tersampaikan, metode kerja digunakan, dan semua output yang dihasilkan baru dan berguna. Salah satu indikator dari kinerja kreatif adalah pemikiran divergen. Pemikiran divergen menjadi hal penting dan mendasar dalam kreativitas, karena istilah “pemikiran divergen” dan “kreativitas” sering digunakan sebagai sinonim di dalam bukubuku psikologi (misalnya, McCrae, 1987; Paulus, 2000).

Namun, definisi kreativitas yang biasanya digunakan dalam buku-buku manajemen memerlukan kedua divergensi, yaitu kebaruan dan orisinalitas, yang lebih mengarah pada suatu inovasi dan kegunaan dalam konteks yang ada (Amabile, 1983). Pemikiran divergen adalah proses yang menghasilkan banyak ide yang inovatif dan sekaligus menjadi aspek penting dari kreativitas anggota dalam organisasi (Williams, 2004). Woodman (dikutip oleh Williams, 2004) mencatat, pemikiran divergen telah lama menjadi kunci kognitif terhadap kreativitas dan menjadi pertimbangan utama dalam penelitian kreativitas.

Pemikiran divergen adalah proses yang menghasilkan banyak ide yang inovatif. Pemikiran divergen menjadi aspek penting dari kreativitas karyawan dalam organisasi. Pemecahan masalah secara efektif dan kreatif membutuhkan ide dari solusi potensial yg beragam dan berbeda (Ford, 1996) dan pemikiran divergen membantu karyawan mengidentifikasi masalah-masalah menarik dan cara-cara kreatif untuk menerapkan solusinya (Basadur, 1994)

Ford (1996) menjelaskan bahwa mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi pemikiran divergen tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam memahami kreativitas organisasi. Pemecahan masalah secara efektif dan kreatif membutuhkan ide dari solusi potensial yg beragam dan berbeda. Selain itu, pemikiran divergen juga membantu karyawan mengidentifikasi masalah-masalah menarik dan cara-cara kreatif untuk menerapkan solusinya (Basadur, 1994, dalam Williams, 2004).

Untuk mencapai kinerja kreatif, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah kepribadian. Menurut Mahmud (1990) kepribadian itu mempunyai arti yang lebih dari pada hanya sekedar sifat menarik yang tersusun dari semua sifat yang dimilikinya. Sifat tersebut bermacam-macam. Seperti yang berkenaan dengan cara orang berbuat, menggambarkan sikap, berhubungan dengan minat, dan temperamen emosionil.

George dan Zhou (2001) dalam Williams (2004) menjelaskan bahwa salah satu kepribadian yang terkait dengan kinerja kreatif dalam organisasi adalah keterbukaan keterbukaan pada pengalaman. Dalam suatu organisasi pasti ada beberapa individu yang mempunyai sikap terbuka dalam segala hal. Individu yang terbuka tersebut cenderung lebih kreatif daripada anggota organisasi yang lain. Selain keterbukaan terhadap pengalaman, ciri kepribadian lain yang menjadi bagian dari lima model utama personalitas adalah ekstraversi, neurotisisme, daya terima, dan sifat kehati-hatian. Dari 5 model utama tersebut, keterbukaan terhadap pengalaman menjadi elemen penting untuk mencapai kinerja kreatif dalam organisasi.

Kepemimpinan juga perlu menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan dalam kinerja kreatif. Oldham dan Cummings (1996) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kepemimpinan yang selalu  terbuka mendukung dan ikut serta bekerjasama dapat meningkatkan kreativitas karyawan. Redmond (1993, dalam Williams, 2004) berpendapat bahwa pemimpin yang meningkatkan kepercayaan diri karyawan juga dapat meningkatkan kinerja kreatif. 

Robbins (2006) menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah suatu tujuan. Kepemimpinan adalah pengaruh antara pribadi yang dijalankan dalam situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tersebut. Menurut Nitisemito (1996) pemimpinlah yang akan menentukan kemana arah dan tujuan internal maupun eksternal dan menyelaraskan visi dan misi organisasi.

Penelitian Williams (2004) menunjukkan bahwa beberapa tingkatan dari kesesuaian dan prediktabilitas biasanya diperlukan untuk hubungan antar perangkat organisasi. Organisasi adalah sistem terstruktur yang mempekerjakan beberapa divisi atau pembagian kerja. Disinilah seorang pemimpin bertanggungjawab untuk memastikan kinerja anggotanya cukup jelas dan hubungan antar divisi atau tanggung jawab kerjanya terstruktur dengan tepat.

Penelitian ini dilakukan pada berbagai jenis organisasi kreatif yang ada di kota Semarang. Organisasi-organisasi ini terdiri dari berbagai bidang, mulai dari creative agency, bisnis creative merchandise, komunitas seni, komunitas periklanan, dan himpunan mahasiswa. Sebagian besar organisasi kreatif ini dihimpun oleh SDM yang relatif muda dan memiliki daya kreasi yang tinggi.

Yang pertama adalah agensi kreatif Becakmabur. Becakmabur adalah agensi kreatif yang fokus pada bidang jasa desain, advertising campaign, branding, dan multimedia. Dengan tim yang berkompetensi di bidangnya masing-masing, Becakmabur berusaha memenuhi kebutuhan kreatif di masyarakat. Tim Becakmabur memiliki visi “Jangan ngaku kreatif kalau berkarya aja nggak aktif!” sebagai bentuk mentalitas untuk terus berkarya dalam bidang Desain Visual. 

 

2.2. Sikap

Hornby (1974, dalam Ramdhani, 2008) mendefinisikan sikap adalah cara menempatkan atau membawa diri, atau cara merasakan, jalan pikiran, dan perilaku. Free online dictionary (www.thefreedictionary.com) mencantumkan sikap adalah kondisi mental yang kompleks yang melibatkan keyakinan dan perasaan, serta disposisi untuk bertindak dengan cara tertentu. Pendapat tersebut semakin diperkaya oleh Allport (1935, dalam Ramdhani, 2008) bahwa sikap adalah kondisi mental dan neural yang diperoleh dari pengalaman, yang mengarahkan dan secara dinamis mempengaruhi respon-respon individu terhadap semua objek dan situasi yang terkait.

Sikap diperolah dan dirubah melalui hasil belajar seseorang dengan lingkungannya, yaitu dimulai semenjak ia lahir sampai proses kehidupan berjalan. Terdapat tiga komponen dalam sikap menurut Sears, Freedman, dan Peplau

(1994) dalam Jamridafrizal (2002), yaitu:

 

Kognitif

Terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang mengenai objek sikap tertentu – fakta, pengetahuan, dan keyakinan tentang objek.

Afektif

Berhubungan dengan emosi atau perasaan (positif, negatif, suka tidak suka), yang menyertai sebuah ide.

Tingkah laku

Berhubungan dengan kecenderungan atau kesiapan untuk suatu tindakan.

Sikap dibentuk melalui proses tertentu, melalui kontak sosial terus menerus antara individu dengan individu lain di sekitarnya. Menurut Jamridafrizal (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi tebentuknya sikap adalah:

Faktor internal, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan, seperti selektivitas, yaitu memilih rangsang-rangsang mana yang akan didekati dan mana yang harus djauhi. Pilihan ini ditentukan oleh motif-motif dan kecenderungan-kecenderungan dalam diri seseorang. Karena harus memilih inilah kemudian orang menyusun sikap positif terhadap suatu hal dan membentuk sikap negatif terhadap hal lainnya.
Faktor eksternal, yaitu faktor yang berada di luar individu, yaitu:

Sifat objek yang dijadikan sifat
Kewibawaan orang yang mengemukakan suatu sikap
Sifat orang-orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut
Media komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan sikap
Situasi pada saat sikap itu dibentuk

Dari pembahasan mengenai sikap dapat diketahui tentang pembentukan sikap, aspek-aspek yang terkandung dalam sikap, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap. Dengan demikian maka sikap kreatif tidak terlepas dari ketiga hal tersebut. Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa karakteristik utama yang penting dari individu yang kreatvitasnya tinggi adalah sikap kreatifnya. Menurut Utami Munandar (1990) dalam Jamridafrizal (2002), jika sikap ini sudah dipupuk sejak dini (sikap ingin tahu, minat untuk menyelidiki lingkungan atau bidang-bidang baru, dorongan untuk melakukan eksperimen, perasaan tertantang untuk menangani masalah-masalah rumit, dan untuk menemukan banyak kemungkinan pemecahan masalah), maka sikap mental ini akan dibawa terus sampai dewasa.

Sikap kreatif juga dipengaruhi oleh sifat-sifat yang ada dalam kepribadian seseorang, yang secara bersama-sama berpengaruh terhadap individu untuk berpikir mandiri, fleksibel, dan imajinatif. Berbagai ciri orang yang memiliki sikap kreatif dikemukakan oleh Munandar (1988) dalam Jamridafrizal (2002) antara lain sikap bersedia menghargai keunikan pribadi dan potensi setiap individu dan tidak perlu selalu menuntut dilakukannya hal-hal yang sama. Pada waktu tertentu individu diberi kebebasan untuk melakukan atau membuat sesuatu sesuai dengan apa yang disenangi.

Pembentukan sikap kreatif berlangsung melalui proses tertentu, antara lain melakui kontak social terus menerus antara individu dengan individu lain disekitarnya. Pembentukan sikap kreatif yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal akan menghasilkan sikap bersedia mencetuskan, menerima, dan menilai gagasan-gagasan yang baru, yang berbeda dari gagasan-gagasan yang biasanya dicetuskan, yaitu gagasan-gagasan kreatif (Munandar, 1988).

Sikap kreatif dalam penelitian yang dilakukan Munandar (1977) dalam Jamridafrizal (2002) diukur dari 8 faktor yang banyak menentukan perilaku

kreatif, yaitu:

 

Keterbukaan terhadap pengalaman baru dan luar biasa
Fleksibel dalam berpikir
Kebebasan dalam berpikir
Kebebasan berekspresi
Menghargai fantasi
Minat terhadap aktivitas kreatif
Kepercayaan pada gagasan sendiri
Kebebasan dalam penilaian
Keterlibatan dalam tugas

 

2.3. Pengaruh Sikap Terhadap Kinerja Kreatif

 

Penelitian Munandar (dalam Jamridafrizal, 2002) menunjukkan bahwa individu kreatif mempunyai sikap-sikap yang bisa diukur melalui beberapa perilaku yang dilakukannya. Lebih lanjut lagi penelitian tersebut menunjukkan bahwa sikap kreatif mempunyai karakter yang bersedia menghargai keunikan pribadi dan potensi setiap individu dan tidak perlu selalu menuntut dilakukannya hal-hal yang sama. Pada waktu tertentu individu diberi kebebasan untuk melakukan atau membuat sesuatu sesuai dengan apa yang disenangi.

Basadur (1982) dalam Willimas (2004) menemukan bahwa salah satu yang diyakini terkait dengan kinerja kreatif dalam organisasi adalah sikap seseorang terhadap pemikiran divergen. Pernyataan tersebut semakin diperkuat oleh Wakabayashi dan Graen (1990) dalam Williams (2004) yang menunjukkan bahwa pada pelatihan kreativitas dapat meningkatkan kemampuan sikap terhadap pemikiran divergen (kreatif) menjadi lebih baik sehingga akan berpengaruh terhadap kinerja kreatif individu.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut:

2.4. Kepemimpinan

 

Robbins (2006) mendefinisikan kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah suatu tujuan. Kepemimpinan adalah pengaruh antara pribadi yang dijalankan dalam situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tersebut. Sedangkan menurut Nurkolis (2003) kepemimpinan adalah proses mempengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.

Penelitian Retno Utami (2006) menjelaskan bahwa untuk menilai sukses tidaknya pemimpin itu dilakukan antara lain dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas atau mutu perilakunya, yang dipakai sebagai kriteria untuk menilai kepemimpinannya. Usaha-usaha yang sistematis tersebut membuahkan teori sifat atau kesifatan dari kepemimpinan. Teori kesifatan atau sifat dikemukakan oleh beberapa ahli. Berdasarkan teori-teori tentang kesifatan atau sifat-sifat pemimpin dari Edwin Ghiselli (dalam Handoko, 1995) dan Ordway Tead dan George R. Terry dalam Kartono (1992), dapat disimpulkan bahwa sifatsifat kepemimpinan yang mempengaruhi kinerja bawahannya adalah:

Kemampuan sebagai pengawas (supervisory ability) 
Kecerdasan 
Inisiatif 
Energi jasmaniah dan mental 
Kesadaran akan tujuan dan arah 
Stabilitas emosi 
Obyektif 
Ketegasan dalam mengambil keputusan 
Keterampilan berkomunikasi 
Keterampilan mengajar 
Keterampilan sosial
Pengetahuan tentang relasi insani

Menurut Nitisemito (1996) pemimpinlah yang akan menentukan kemana arah dan tujuan internal maupun eksternal dan menyelaraskan visi dan misi organisasi. Karena itu karakter seorang pemimpin menjadi faktor panting dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Friska (2004) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pada umumnya pemimpin dalam setiap organisasi dapat diklasifikasikan menjadi lima tipe utama yaitu sebagai berikut:

Tipe pemimpin otokratis 

Tipe pemimpin ini menganggap bahwa pemimpin adalah merupakan suatu

hak. Ciri-ciri pemimpin tipe ini adalah sebagi berikut:

Menganggap organisasi adalah milik pribadi.
Mengidentikkan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi.
Menganggap bahwa bawahan adalah sebagai alat mata-mata.
Tidak mau menerima kritik, saran, dan pendapat dari orang lain karena dia menganggap dialah yang paling benar.
Selalu bergantung pada kekuasaan formal.
Dalam menggerakkan bawahan sering mempergunakan pendekatan yang mengandung unsur paksaan dan ancaman.

Dari sifat-sifat yang dimiliki oleh tipe kepemimpinan otokratis tersebut di atas dapat diketahui bahwa tipe ini tidak menghargai hak-hak dari manusia, karena itulah tipe ini tidak dapat dipakai dalam organisasi modern.

Tipe pemimpin militeristis

Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dengan seorang pemimpin tipe militeristis tidak sama dengan pemimpin-pemimpin dalam organisasi militer. Artinya tidak semua pemimpin dalam militer adalah bertipe militeristis. Seorang pemimpin yang bertipe militeristis mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

Dalam menggerakkan bawahan untuk yang telah ditetapkan, perintah mencapai tujuan digunakan sebagai alat utama.
Dalam menggerakkan bawahan sangat suka menggunakan pangkat dan jabatannya.
Senang kepada formalitas yang berlebihan.
Menuntut disiplin yang tinggi dan kepatuhan mutlak dari bawahan.
Tidak mau menerima kritik dari bawahan.
Menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.

Dari sifat-sifat yang dimiliki oleh tipe pemimpin militeristis adalah bahwa tipe pemimpin seperti ini bukan merupakan pemimpin yang ideal.

Tipe pemimpin fathernalistis 

Tipe kepemimpinan fathernalistis, mempunyai ciri tertentu yaitu bersifat fathernal atau kebapakan. Kepemimpinan seperti ini menggunakan pengaruh yang sifat kebapakan dalam menggerakkan bawahan mencapai tujuan. Kadang-kadang pendekatan yang dilakukan terlalu sentimental. Sifat-sifat umum dari tipe pemimpin fathernalistis dapat dikemukakan sebagai berikut:

Menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa.
Bersikap terlalu melindungi bawahan.
Jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan.
Jarang   memberikan      kesempatan       kepada bawahannya      untuk

mengembangkan inisiatif dan daya kreasi.

 

Sering menganggap dirinya maha tahu. Harus diakui bahwa dalam keadaan tertentu pemimpin seperti ini sangat diperlukan. Akan tetapi ditinjau dari segi sifat-sifat negatifnya pemimpin fathernalistis kurang menunjukkan elemen kontinuitas terhadap organisasi yang dipimpinnya.

 

Tipe pemimpin karismatis

Sampai saat ini para ahli manajemen belum berhasil menemukan sebab-sebab mengapa seorang pemimpin memiliki karisma. Yang diketahui ialah tipe pemimpin seperti ini mempunyai daya tarik yang amat besar, dan karena itulah pemimpin seperti ini mempunyai pengikut yang sangat besar. Kebanyakan para pengikut menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut dari pemimpin seperti ini, karena mereka menganggap masih kurangnya seorang pemimpin yang karismatis. Maka mereka mengatakan bahwa pemimpin yang karismatis diberkahi dengan kekuatan gaib (supernatural powers). Perlu dikemukakan bahwa kekayaan, umur, kesehatan, tingkat pendidikan, dan sebagainya, tidak dapat digunakan sebagai kriteria tipe pemimpin karismatis.

Tipe pemimpin demokratis

Dari semua tipe kepemimpinan yang ada, tipe kepemimpinan demokratis dianggap sebagai tipe kepemimpinan yang baik. Hal ini disebabkan karena tipe kepemimpinan ini selalu mendahulukan kepentingan kelompok dibandingkan dengan kepentingan individu. Beberapa cirri dari kepemimpinan demokratis adalah sebagai berikut:

Dalam proses menggerakkan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia adalah makhluk yang termulia di dunia.
Selalu berusaha menyelaraskan kepentingan dan tujuan pribadi dengan kepentingan organisasi.
Senang menerima saran, pendapat, dan kritik dari bawahannya.
Mentolerir          bawahan              yang      membuat            kesalahan            dan        memberikan

pendidikan kepada bawahan agar jangan berbuat kesalahan dengan tidak mengurangi daya kreativitas, inisiatif, dan prakarsa dari bawahan.

Lebih menitikberatkan kerjasama dalam mencapai tujuan.
Selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya.
Berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin. Dari sifat-sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin tipe demokratis, jelaslah bahwa tidak mudah untuk menjadi pemimpin demokratis.

Penelitian Williams (2004) menunjukkan bahwa beberapa tingkatan dari kesesuaian dan prediktabilitas biasanya diperlukan untuk hubungan antar perangkat organisasi. Organisasi adalah sistem terstruktur yang mempekerjakan beberapa divisi atau pembagian kerja. Disinilah seorang pemimpin bertanggungjawab untuk memastikan kinerja anggotanya cukup jelas dan hubungan antar divisi atau tanggung jawab kerjanya terstruktur dengan tepat.

 

2.5. Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Kinerja Kreatif

 

Penelitian Fisher (1986), Hackman (1992), dan Van Maanen (1976) dalam

Williams (2004) menunjukkan bahwa pemimpin dapat mempengaruhi sikap bawahannya dalam menghasilkan kinerja kreatif. Urip Sedyowidodo (2008) dalam penelitiannya di perusahaan bidang EPC (Engineering, Procurement, Cunstruction) yang dituntut oleh klien untuk menghasilkan produk yang inovatif dan kreatif, menyimpulkan bahwa praktek manajer berdasarkan pilihan tepatnya menggunakan strategi SDM dapat mendukung tumbuhnya jiwa Intrapreneur karyawan. Berkembangnya lingkungan Intrapreneurial diharapkan menyuburkan pemikiran kreatif dan inovatif yang akan berpengaruh terhadap kinerja SDM.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUST AKA

 

Antonio, Aragon-Sanchez, Barba-Aragon, Isabel, Sanz-Valle dan Raquel, 2003. Effects of training on business results. International Journal of Human Resource Management,Volume 14, Issue 6: 956-980

Apibunyopas, Preeyanuch, 1983. An Analysis of Faktors Affecting the Performance of small Rural Non Firm Firm in Thailand, Un Published Ph.D Dissertation, Purdue University

Byars, L.L, and Rue, L.W. 1997. Human Resources Management. Ricard D. Irwin Inc. Illinois.

Chen dan Tseng, 2005. The performance of marketing alliances between the tourism industry and credit card issuing banks in Taiwan, Tourism Management, 26 (1), Pages 15-24

David, Westhead, Paul, Storey, 1996. Management training and small firm performance: Why is the link so weak?, International Small Business Journal. Jul-Sep 1996. Vol. 14, Iss. 4.

Dimitris Tzelepis, Dimitris Skuras, 2004. The effects of regional capital subsidies on firm performance: an empirical study. Journal of Small Business and Enterprise Development. 2004. Vol. 11, Iss. 1: 121

Eaglen Andrew, Lashley Conrad dan Thomas Rhodri, 2000. Modelling the benefits of training to businessperformance in leisure retailing. Strategic Change. Aug 2000. Vol. 9, Iss. 5;

Edward, Eric, 1994. The Organization and It's Environment, Journal Credit Management, Western Europe, No. XII, 14

Fisseha, Yacob, 1994 Practices and performance in Small Scale Manufacturiing ,

Fredrik Bergstrom, 2000 Capital subsidies and the performance of firms. Small Business Economics. May 2000. Vol. 14, New York:, Renerhart and Winston, Inc.

Khan, Sharafat, 1997. The Key to Being a Leader Company, Empowerment. Jornal Personality and Partisipation, Jan-Feb.

Kuncoro, Mudrajad, 1997. Ekonomi Industri, Teori Kebijakan dan Studi Empiris di Indonesia. Yogyakarta, Widya Sarana Informatika.

Lin, C. Y. Y., 1998. Success Faktors Of Small and Medium Sized Enterprises in Taiwan: An Analysis of Cases. Journal of Small Business Management, Vol. 36, October P. 43-56

Luk, S. T. K., 1996. Succes in Hongkong: Faktors Self Reported by Successful Small Business Owners, Journal of Business Management, Vol. 34, July P. 68- 74

Mubyarto, 1999. Reformasi Sistem Ekonomi: Dari Kapitalisme menuju Ekonomi Kerakyatan (2th Ed), Yogyakarta, Aditya Media.

Pickle, H.B. & Abrahamson, R.L.1989. Small Business Management. Singsapore: John Wiley & Son (SEA) Pte. Ltd.

Rasiah, R., 2002 Government-business coordination and small enterprise performance in the machine tools sector in Malaysia. Small Business Economics 18 (1- 3Singian, 1995:164

Stuart, 2000. Interorganizational alliances and the performance of firms: A study of growth and innovation rates in a high-technology industry, Strategic Management Journal, 21 (8)

Sullivan, D,M., 2002 Local Governments as risk takers and risk redecers: An examinition of business subsidies and subsidy controls. Economic Development Quarterly vol.16 (2).

Tambunan, M..1998. Pilihan Instrumen Kebijkan Makro Ekonomi Untuk pengembangan Usaha Kecil di Indonesia. Dalam Gunardi, Harry Seldadyo, dkk (Eds), Usaha Kecil Indonesia: Tantangan Krisis dan Globalisasi (hlm.8-19). Jakarta: Center of Economic and Social Studies.

Tjiptoherijanto, P.. 1997. Situasi dan Peta Kebijakan Ekonomi Indonesia 1997. Publikasi c, FEUI, Nomor : 0043,Mei 1997 haI1-12.

Vitayala, Aida., 2000 Tantangan dan Prospek Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Otonomi Daerah, dalam Proseeding Seminar Pemberdayaan Manusia Menuju Masyarakat Madani. Bogor, 25-26 September 2000.

Zaheer A., George V.P, 2004. Reach out or reach within? Performance implications of alliances and location in biotechnology, Managerial and Decision Economics, 25 (6-7),